Jumat, 14 Mei 2010

Musik menurut pandangan Islam

Dalil yang mengharamkan nyanyian

a. Berdasarkan firman Allah dalam QS. Luqman : 6, artinya ”Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.”

Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya Al-Hasan, Al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.
Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah QS An-Najm : 59-61, dan QS Al-Isra` : 64 (Al-Jazairi, 1992 : 20-22).

b. Hadits Abu Malik Al-Asy’ari RA bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma`azif).”

c. Hadits Aisyah RA Rasulullah SAW bersabda: ”Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas.

d. Hadits dari Ibnu Mas’ud RA, Rasulullah SAW bersabda: ”Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.”

e. Hadits dari Abu Umamah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.”

f. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf RA bahwa Rasulullah SAW bersabda; “Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).”

Dalil yang menghalalkan nyanyian

a. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Maidah: 87; artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.”

b. Hadits dari Nafi’ RA, katanya: “Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar RA. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu ?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah SAW.”

c. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra ber-kata; “Nabi SAW mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata; “Di antara kita ada Nabi SAW yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi SAW bersabda : “Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.”

d. Dari Aisyah RA; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah SAW bersabda; “Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.”

e. Dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata; “Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah SAW)”

Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya kontradiksi (ta’arudh) satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu melihat kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak bertentangan itu.

Imam Asy-Syafi mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi SAW ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu (Asy-Syaukani, t.t. : 275).
Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya, bukan menolak salah satunya. Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak yang lainnya.

Perlu ditekankan lagi hal-hal yang telah dipaparkan di atas merupakan pandangan dari berbagai sumber, selanjutnya di kembalikan pada individu masing-masing bagaimana menyikapi fungsi dan peranan musik itu sendiri. bukankah amal dan buruk seseorang hanya Allah yang tahu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar