Rabu, 12 Mei 2010

Makna Persatuan dan Perpecahan Penulis : Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed

Makna Persatuan dan Perpecahan

Ikhwan fiddin a’azzakumullah, sesungguhnya dalam masalah persatuan ini kita harus melihat kembali dalil-dalilnya. Karena setiap Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara tentang Al-Jama’ah (yang diistilahkan dengan persatuan) selalu dihubungkan dengan:

1. Siapa yang dipersatukan?

2. Apa dasar persatuannya?

Penjelasan

1. Siapa yang dipersatukan atau yang dipersaudarakan?

Sesungguhnya yang dipersatukan oleh Allah dalam Al-Qur`an adalah orang-orang yang beriman dan kaum Muslimin secara umum.

Allah berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ ﴿الحجرات: ١٠﴾

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara.” (Al-Hujurat: 10)

Yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan beriman kepada hari akhirat serta qadha dan qadar yang baik maupun yang buruk.

Berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُمْ بَعْضًا ﴿رواه مسلم﴾

“Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain bagaikan bangunan yang saling menopang sebagian terhadap sebagian yang lain.” (HR. Muslim)

Dan berkata pula:

المُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ ﴿أخرجه مسلم﴾

“Muslim adalah saudara muslim yang lain.” (HR. Muslim)

Dan tentunya kaum Muslimin adalah yang bersyahadat dengan dua kalimat syahadat dan melaksanakan rukun-rukun Islam khususnya shalat dan zakat yang tersebut dalam firman Allah:

فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ ﴿التوبة: ١١﴾

“Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat maka (mereka) adalah saudara-saudara kalian dalam dien.” (Taubah: 11)

Maka, tetaplah mereka kaum musyrikin diperangi sampai mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan mengeluarkan zakat. Allah berfirman:

“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu maka bunuhlah kaum musyrikin di mana saja kalian temui mereka, tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan mengeluarkan zakat maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan (jangan diperangi).” (At-Taubah: 5)

Jadi bukanlah memecah belah persatuan apabila Abu Bakar Ash-Shiddiq radliallahu anhu memerangi kaum Muslimin yang menolak untuk membayar zakat, bahkan sebaliknya beliau radhiallahu anhu memeranginya dalam rangka mempersatukan mereka kembali dalam satu jama’ah, yaitu Al-Jama’ah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya ada di atasnya.

Oleh karena itu, kepada hamba-hamba Allah tersebut (kaum Mukminin dan Muslimin) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan:

“Janganlah kalian saling iri dan jangan bermain harga untuk menipu (dalam berjualan) dan jangan saling bermusuhan dan janganlah saling berpaling, serta jangan membeli/menjual barang yang masih ditawar saudaranya. Dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim)

Sehingga jelas di sini bahwa yang dimaksud bukanlah persatuan kelompok (firqah) tertentu yang kemudian saling membangga-banggakan kelompok/organisasinya. Dan menganggap yang di luar kelompoknya berarti bukan saudaranya dan lantas disikapi dengan sikap seperti terhadap orang kafir. Dan bukan pula persatuan antara Muwahhidin dan Musyrikin atau persatuan antara Ahlus Sunnah dengan berbagai aliran sesat.

2. Apa dasar persatuannya?

Perintah Allah untuk bersatu dalam Al-Jama’ah selalu diikuti dengan penjelasan dasarnya, kemudian memperingatkan bahwa menyalahi dasar-dasar tersebut dapat menyebabkan terjadinya perpecahan. Allah berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا… ﴿ال عمران: ١٠٣﴾

“Berpeganglah kalian seluruhnya dengan tali Allah dan jangan berpecah belah.” (Ali Imran: 103)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata bahwa yang dimaksud dengan hablullah (tali Allah) ialah janji Allah. Dikatakan pula bahwa tali Allah ialah Al-Qur`an sedang lafaz walaa tafarraqu (jangan berpecah belah) menunjukkan perintah untuk berjama’ah dan melarang perpecahan.[3] Allah Ta’ala berfirman:

“Dan inilah jalanku yang lurus maka ikutilah (jalan itu) dan jangan mengikuti jalan-jalan lain (subul) sehingga kalian akan berpecah dari jalan Allah.” (Al-An’am: 153)

Berkata Ibnu Katsir dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu: “Allah memerintahkan berjama’ah serta melarang perselisihan dan perpecahan.”[4]

Mengomentari makna Shirathal Mustaqim (jalan yang lurus), Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:[5]

“Shirathal Mustaqim ialah jalan yang Allah gariskan untuk para hamba-Nya, jalan yang bisa menghantarkan mereka kepada-Nya dan tidak ada jalan kepada-Nya selain jalan-Nya. Bahkan seluruh jalan akan berakhir (berujung) kepada makhluk, kecuali jalan yang telah Dia gariskan melalui lisan para Rasul-Nya yaitu mengesakan Allah dalam beribadah dan mengesakan Rasul dalam ketaatan. Oleh karena itu, jangan pula menyertakan sesuatupun bersama Allah dalam beribadah kepada-Nya (yakni syirik). Dan jangan menyertakan seorangpun bersama Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam mutaba’ah (mengikuti). Dengan demikian, yang dimaksud Shirathal Mustaqim hanyalah tauhidullah dan hanya mutaba’ah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Sedangkan makna subul, dikatakan oleh Mujahid: “Subul adalah berbagai bid’ah dan syubhat.”[6]

Demikianlah, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk tetap bersatu dalam jama’ah kaum Muslimin dengan berpegang kepada Al-Qur`an dan berada di atas shirathal mustaqim, yaitu di atas tauhidullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, meninggalkan asas-asas tersebut merupakan penyebab perpecahan dan merusak persatuan. Misalnya:

1. Menyelisihi Al-Qur`an adalah perselisihan dan perpecahan setelah tegaknya hujjah atas mereka. Dan ini adalah perpecahan umat terdahulu yang telah Allah cela. Allah Azza wa Jalla melarang umat ini untuk berpecah dan berselisih seperti mereka.

وَلاَ تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ﴿ال عمران: ١٠٥﴾

“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang berpecah dan berselisih setelah datang keterangan (hujjah) kepada mereka.” (Ali Imran: 105)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah Tabaraka wa Ta’ala melarang umat ini untuk menjadi seperti umat-umat tedahulu (dalam) perpecahan dan perselisihan mereka, serta ditinggalkannya amar ma’ruf nahi munkar di antara mereka, padahal telah tegak hujjah atas mereka.[7]

Lihatlah ayat dan ucapan Ibnu Katsir di atas dan bandingkan dengan ucapan firqah-firqah hari ini yang menganjurkan untuk mengesampingkan amar ma’ruf nahi munkar dengan alasan persatuan! Atau menyatakan agar kita tidak berbicara tentang syirik dan bid’ah karena mereka menganggap ini adalah perkara ilmu masail yang tidak perlu dibicarakan kecuali oleh para kiai di daerahnya masing-masing, dengan alasan agar tidak terjadi perselisihan dan perpecahan. Padahal, justru meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar merupakan penyebab terjadinya perpecahan. Dan itu berarti mereka telah membiarkan diri mereka berpecah-belah dan ridha dengan perpecahan tersebut. Allah berfirman:

“Janganlah kalian termasuk orang-orang yang musyrik, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka sendiri, dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka.” (Ar-Ruum: 31-32)

Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir berkata:[8]

“Bahkan jadilah kalian muwahhidin (orang-orang yang bertauhid) yang mengikhlaskan ibadah hanya untuk-Nya (Allah) dan tidak menginginkan dengan ibadahnya kecuali Dia.” Kemudian dia berkata: “(memecah-belah agamanya) yaitu mengganti-ganti dan merubah-rubahnya (yaitu melakukan bid’ah) serta beriman kepada sebagian (syariat agama) tapi kufur (ingkar) pada sebagian yang lain.” Bahkan beliau menambahkan: “…dan umat ini pun (akan) berselisih. Di antara mereka ada yang menjadi aliran-aliran (sekte) yang seluruhnya sesat kecuali satu, yaitu: Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena hanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah-lah yang berpegang dengan Al-Kitab dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang ada pada generasi pertama (Salaf) dari para shahabat, tabi’in, dan para imam-imam kaum Muslimin (yang mengikuti mereka) dulu maupun sekarang.”

2. Keluar dari shirathal mustaqim berarti juga memecah-belah dien dan menyebabkan tafarruq. Allah berfirman:

وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ﴿الأنعام: ١٥٣﴾

“Janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, niscaya kalian akan bercerai-berai dari jalan-Nya.” (Al-An’am: 153)

Penjelasan tentang ayat ini terdapat dalam riwayat yang shahih dalam musnad Ahmad dan lainnya dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu[9], yaitu setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan garis-garis di kanan dan kiri dari garis yang lurus, beliau bersabda:

“…dan ini adalah as-subul (jalan-jalan), tidak ada satu jalan pun daripadanya kecuali ada syetan yang mengajak kepadanya…” (HR. Ahmad, Nasai, Darimi, dan Hakim)

Mujahid menjelaskan bahwa pengertian subul yang didakwahkan oleh syetan di sini adalah jalan-jalan bid’ah dan syubhat. Oleh sebab itu, ketika jalan ini diikuti oleh kaum Muslimin maka mereka menjadi terpecah ke dalam berbagai firqah dan aliran.

Contoh firqah yang pertama keluar dari jalan Shirathal Mustaqim karena mengikuti pemahaman bid’ah adalah Khawarij. Kemudian muncul aliran bid’ah lain yaitu Syi’ah dan diikuti selanjutnya oleh Qodariyah, Jabariyah, Murji`ah, Sufiyah, dan lain sebagainya. Dan terus akan berpecah sampai menjadi tujuh puluh tiga golongan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“… Umat ini akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya di dalam neraka kecuali satu yaitu Al-Jama’ah.” (HR. Ahmad dll. dan diHASANkan oleh Ibnu Hajar)[10] dan dalam riwayat lain: “Siapa saja yang mengikuti sunnahku dan para shahabatku.” (HR. Tirmidzi, diHASANkan oleh Syaikh Al-Albani)[11]

Perintah Allah dan Rasul-Nya ketika Terjadi Perpecahan

Tentunya tidak ada pertentangan antara perintah untuk bersatu dalam Al-Jama’ah dan berita tentang akan berpecahnya umat ini, sebagaimana tidak ada pertentangan antara berita tentang qadha dan qadar dengan perintah untuk berusaha. Maka, kaum Muslimin diperintahkan untuk berusaha agar tetap bersatu di dalam Al-Jama’ah yaitu berjalan di atas sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya (shirathal mustaqim). Dan tatkala terjadi perpecahan, mereka diperintahkan untuk kembali dan mengembalikan kaum Muslimin ke jalan yang lurus (shirathal mustaqim) yang berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah. Allah berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ ﴿النساء: ٥٩﴾

“Dan jika kalian berselisih dalam satu perkara maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya).” (An-Nisa`: 59)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

“Aku wasiatkan kepada kamu sekalian untuk tetap bertaqwa kepada Allah dan senantiasa mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kamu adalah seorang budak dari Habsyi. Barangsiapa hidup (berumur panjang) di antara kalian niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafaur rasyidin yang diberi petunjuk (yang datang) sesudahku, gigitlah sunnah itu dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam masalah agama). Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat. (HR. Nasai dan Tirmidzi: HASAN SHAHIH)[12]

Dengan satu ayat dan hadits di atas, sudah cukup jelas bahwa sikap kita ketika menghadapi perpecahan umat bukan berfikir untuk mempersatukan mereka dengan manhaj yang berbeda-beda atau aliran yang berbeda-beda, tapi sikap kita adalah bagaimana kita kembali dan mengembalikan kaum Muslimin kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman para shahabatnya, khususnya para khulafa`ur rasyidin (khalifah-khalifah) yang lurus dan mendapatkan petunjuk, serta para ulama pengikut mereka dulu maupun sekarang. Dengan kata lain, kembalilah dan kembalikanlah kaum Muslimin kepada Al-Haq yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para shahabatnya, serta para imam/ulama Salaf berada di atasnya.

Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Semuanya (firqah-firqah) dalam neraka kecuali satu, yaitu Al-Jama’ah, yang aku dan para shahabatku ada di atasnya.”

Tentunya untuk memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahaman para shahabat adalah melalui para ulama khususnya Ahlul Hadits dari kalangan mereka.

Imam Bukhari rahimahullah memberi satu judul bab (dalam Shahihnya) dengan ucapan: Bab “Demikianlah kami jadikan kalian umat yang satu. Dan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk beriltizam (berpegang) pada Al-Jama’ah yaitu para ulama.”[13]

Demikian pula Imam Syatibi rahimahullah dalam kitabnya Al-I’tisham II/886 mengatakan dengan ucapan yang hampir sama bahwa Al-Jama’ah adalah para ulama. Kemudian dia berkata: “Sedangkan selain mereka (para ulama) termasuk dalam golongan tersebut, jika mereka mengikuti dan mengambil teladan dari para ulama tersebut.” Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu menambahkan: “Al-Jama’ah adalah yang sesuai dengan Al-Haq walaupun engkau sendirian.”

Maka, kembalilah dan kembalikanlah kaum Muslimin kepada Al-Jama’ah yaitu para ulama khususnya para ahlul hadits yang mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih untuk menjaga persatuan umat dengan ikhlas karena Allah semata.

Sebaliknya, jangan menjauhi para ulama tersebut dan menjauhkan kaum Muslimin dari mereka, karena itulah titik awal perpecahan umat. Dan, mari kita hidupkan As-Sunnah dan bangkitkan semangat amar ma’ruf nahi munkar, karena ini merupakan upaya menjaga persatuan umat. Dan sebaliknya, mematikan As-Sunnah dan melemahkan amar ma’ruf nahi munkar merupakan gejala perpecahan umat.

Allahu Ta’ala a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar