Selasa, 08 Juni 2010

PANDANGAN ISLAM TERHADAP KEBUDAYAAN

PANDANGAN ISLAM TERHADAP KEBUDAYAAN

PELESTARIAN SITUS SEJARAH DALAM TIMBANGAN ISLAM

Oleh
Ustadz Abu Minhal

Sejak pertama kemunculannya, risalah Islam sangat menentang praktek

yang mengarah pada pengakuan atau keyakinan adanya kekuasaan selain
Allah Ta’ala di alam semesta ini, dan demikianlah substansi Islam.
Yaitu risalah yang mengajarkan tauhid. Dan selanjutnya menyeru kepada
manusia, supaya beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
mewanti-wanti agar manusia tidak terbawa kepada perbuatan syirik,
karena ketundukan itu hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ألأ لله الد ينن الخا لص

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” [az-Zumar/39:3].

Syirik itu sendiri merupakan fenomena yang begitu kuat melekat dalam
peri kehidupan masyarakat jahiliyah waktu itu. Meskipun
kebiasaan-kebiasaan lain yang tidak sejalan dengan asas-asas Islami
juga berkembang pesat – seperti penindasan terhadap kaum Hawa, praktek
riba, perzinaan, minuman keras, fanatisme golongan (kesukuan),
perbudakan dan lain-lain – akan tetapi perbuatan syirik sangat dominan,
menempati posisi yang tinggi, baik dalam hal tingkat kekeliruan maupun
bahayanya. Sebab perbuatan syirik merupakan kezhaliman yang besar.

ان الشرك لظلم عظيم

“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar” [Luqman/31:13].

Sebenarnya orang-orang jahiliyah meyakini adanya Rabb yang memiliki
kemampuan untuk memenuhi segala yang mereka inginkan, menyelamatkannya
dalam kesempitan. Namun kepercayaan ini dinodai dengan ketundukan dan
penghambaan hati kepada berhala-berhala yang sebagian dibuat oleh
tangan mereka sendiri, meskipun mereka menganggapnya tidak berbuat
demikian.

Fenomena seperti itulah yang saat ini juga menghias peri kehidupan
sebagian manusia, tak urung sebagian kaum muslimin. Tanpa disadari
telah terjebak pada perbuatan syirik, karena keinginan untuk
mempertahankan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya,
yaitu para leluhur atau nenek moyangnya. Yakni mempertahankan
tradisi-tradisi yang telah berjalan pada masa-masa terdahulu. Dengan
berbagai dalih, yang seolah tak mempengaruhi prinsip tauhid. Padahal
tak sedikit tradisi-tradisi ataupun peninggalan sejarah tersebut yang
sangat mungkin bertentangan dengan Islam, baik ditinjau dari sisi
tauhid maupun prinsip-prinsip umum lainnya.

RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM TIDAK MEMERINTAHKAN UNTUK MELESTARIKAN SITUS SEJARAH ISLAM
Dalam masalah ini sangatlah jelas, bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabat tidak terlalu memikirkan situs-situs
sejarah. Begitu pula beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
merencanakan dengan niat secara khusus melakukan safar (perjalanan) ke
tempat-tempat tersebut. Belum ditemukan ada riwayat yang menunjukkan
diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan pendakian ke
bukit-bukit bebatuan untuk mengunjungi Gua Hira, Gua Tsaur, Badr, atau
tempat kelahiran beliau pada pasca hijrahnya[1]. Kalau ada yang
menyatakan telah terjadi Ijma’ di kalangan sahabat mengenai
disyariatkannya melestarikan tempat-tempat peninggalan sejarah, seperti
rumah tempat kelahiran Nabi, Bi`ru (sumur) ‘Aris, maka hal itu tidak
bisa dibuktikan, walaupun hanya dengan satu pernyataan seorang sahabat
[2]. Para sahabat dan orang-orang yang hidup pada qurûn mufadhdhalah
(masa yang utama, yaitu generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in)
tidak pernah melakukannya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah mensyariatkannya.

Demikian pula halnya dengan tempat-tempat yang dahulu pernah dijadikan
sebagai tempat shalat atau pernah disinggahi oleh Rasulullah, maka
sesungguhnya tidak boleh diyakini memiliki keberkahan dan keutamaan
kecuali jika syariat telah menetapkannya. Misalnya Masjidil-Haram,
Masjid Nabawi Masjidil-Aqsha. Bahwasanya shalat di tiga masjid tersebut
mendapatkan keutamaan. Atau tempat-tempat lainnya yang telah disebutkan
oleh nash.

WARISAN NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM YANG SEMESTINYA MENDAPAT PELESTARIAN
Para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
tidaklah melestarikan situs-situs sejarah seperti itu. Akan tetapi,
yang mereka lestarikan ialah warisan peninggalan lainnya, yakni berupa
hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencakup
perkataan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.

Mereka sangat termotivasi untuk memelihara sunnah-sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jalan yang mereka tempuh ialah dengan
mempelajarinya, menghafal dan mengaplikasikannya, serta mengabadikannya
dalam bentuk kitab-kitab, yang hingga kini sangat bermanfaat dan
dipelajari oleh umat Islam.

Bentuk kongkret pelestarian lainnya, ialah penjagaan mereka terhadap
kemurnian syariat Islam ini, sehingga terjaga dari virus bid’ah. Mereka
kesampingkan perkara-perkara baru yang tidak pernah dijalankan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat [3].

MENGAMBIL HIKMAH KEPUTUSAN KHALIFAH ‘UMAR BIN AL-KHATHTHAB
MENEBANG POHON BAI’ATUR-RIDHWAN
Pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin al-Khaththâb, muncul gejala
pada sebagian kaum muslimin yang memiliki ketergantungan kepada
barang-barang peninggalan dan situs-situs sejarah yang tidak tercantum
keutamaannya dalam nash. Fenomena ini dapat mempengaruhi dalm hal
beragama. Maka Khalifah ‘Umar bin al-Khaththâb dan para sahabat
melarang dan memperingatkan manusia dari perbuatan tersebut.

Ibnu Wadhdhah meriwayatkan dengan sanadnya dari al-Ma’rur bin Suwaid, ia bercerita:

Kami pergi untuk mengerjakan haji bersama ‘Umar bin al-Khaththâb. Di
tengah perjalanan, sebuah masjid berada di depan kami. Lantas,
orang-orang bergegas untuk mengerjakan shalat di dalamnya. ‘Umar pun
bertanya,”Kenapa mereka itu?”

Orang-orang menjawab,Itu adalah masjid. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah mengerjakan shalat di masjid itu,” maka ‘Umar berkata:
“Wahai manusia. Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa,
lantaran mereka melakukan perbuatan seperti ini, sampai akhirnya nanti
mendirikan masjid baru di tempat tersebut. Siapa saja yang menjumpai
shalat (wajib), maka shalatlah di situ. Kalau tidak, lewatilah
saja”[4].

Ibnu Wadhdhah juga meriwayatkan, bahwasanya ‘Umar bin al-Khaththâb
memerintahkan untuk menebang sebuah pohon di tempat para sahabat
membaiat Rasulullah di bawah naungannya (yaitu yang dikenal dengan
Syajaratur-Ridhwan). Alasannya, karena banyak manusia mendatangi tempat
tersebut untuk melakukan shalat di bawah pohon itu. Beliau Radhiyallahu
‘anhu mengkhawatirkan timbulnya fitnah (kesyirikan) pada mereka
nantinya, seiring dengan perjalanan waktu [5].

Dari keputusan ‘Umar bin al-Khaththâb ini dapat kita ketahui bila di
kalangan para sahabat tidak terdapat Ijma’ tentang bertabaruk (mencari
berkah) melalui situs-situs sejarah peninggalan masa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Riwayat yang ada justru menyatakan
adanya larangan bertabarruk ataupun beribadah di tempat-tempat tersebut.

Keputusan Amirul-Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab ini juga sudah cukup
untuk menjelaskan sikap Pemerintah Saudi yang memberi akses kemudahan
menuju tempat-tempat bersejarah yang ada di Makkah, terutama jalan
menuju Gua Hira maupun Gua Tsaur yang terjal lagi berbatuan tajam.
Meski demikian, sejumlah kaum muslimin tetap nekad dan rela bersusah
payah, dan tidak menutup kemungkinan mempertaruhkan nyawa berupaya
mencapai tempat-tempat itu, kemudian berdesak-desakan untuk mengerjakan
shalat di sana, dan ngalap berkah (mencari berkah) di tempat yang tidak
dianjurkan oleh syariat.

MEWASPADAI ALASAN PELESTARIAN
Ketegasan yang brilian dari Amirul-Mukminin ‘Umar bin al-Khaththaab itu
sangat berbeda dengan yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini.
Bahkan di sebagian daerah, situs-situs bersejarah itu sangat
mendapatkan perhatian. Sehingga dicanangkan usaha rehabilitasi dan
pemugaran supaya lebih menarik. Dengan dalih, mempunyai potensi dapat
meningkatkan pendapatan daerah, menjaga kekayaan literatur budaya, atau
lainnya. Karenanya, dinas pariwisata setempat berupaya kuat
“menjualnya” untuk menarik wisatawan domestik maupun dari manca negara.

Sementara itu diketahui, pelestarian budaya yang digalakkan tersebut
banyak memberi nuansa kesyirikan, dan di negeri ini cukup beragam
bentuknya. Ada berupa telaga, yang konon mengandung air suci dan
diyakini dapat menyembuhkan penyakit, pintu keraton, kereta kencana,
upacara larung kepala kerbau untuk memberi persembahan kepada penjaga
lautan, persembahan sesajen, ungkapan terima kasih kepada Dewi Sri
(dewi padi) karena telah memberi panenan yang baik, tradisi-tradisi
adat suku tertentu yang kadang dibarengi dengan pengagungan terhadap
senjata-senjata pusaka. Sebagian contoh-contoh ini sangat berpotensi
mengikis aqidah seorang muslim, karena banyak mengandung unsur
kesyirikan maupun maksiat-maksiat lainnya. Adapun syirik, ia termasuk
dosa terbesar. Dan lebih parah lagi orang yang menjajakan dan menyeru
manusia kepada perbuatan syirik, yang berarti ia telah sesat dan
menyesatkan orang lain. Dia telah menantang Allah di dalam kerajaan-Nya
dengan mengajak orang lain untuk mengagungkan atau melakukan
penyembahan kepada selain Allah. Seolah ia hendak melakoni peran yang
dilakukan ‘Amr bin Luhay, yaitu yang pertama kali menggagas perbuatan
syirik di bumi Arab dan merubah agama Nabi Ibrahim.[6]

Oleh karena itu, barang siapa yang memotivasi munculnya perbuatan
syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan melestarikannya dengan
dalih apapun, maka sesungguhnya ia telah membuka jalan keburukan.
Selanjutnya ia akan menanggung dosa tersebut dan dosa orang-orang yang
terperdaya oleh perbuatannya.

Jadi, pelestarian itu seharusnya memperhatikan kesucian aqidah dan
bersesuaian dengan ketentuan-ketentuan yang diperbolehkan syariat.

Maraji`:
1. Al-Bayan li Ba’dhil-Akhtha` al-Kuttab, Syaikh Dr. Shalih al- Fauzan.
2. Ar-Raddu ‘alar-Rifa’i wal-Buthi fi Kadzibihima ‘ala Ahlis-Sunnati wa
Da’watuhuma ilal-Bida’i wadh- Dhalail Syaikh ‘Abdul Muhsin al ‘Abbad.
Himpunan makalah dari Kutub wa Rasail ‘Abdul-Muhsin al-’Abbâd Dar at
Tauhiid Riyaadh Cet. I Th 1428 H
3. Bayan bid-Dalail li Ma fi Nashihatir Rafi’i wa Muqaddimati al-Buthi
minal-Kadzibil-Wadhihi wat- Tadhlail dalam kitab al-Bayan li
Ba’dhil-Akhtha` al-Kuttab, Syaikh Dr. Shalih al- Fauzan, Dar
Ibnil-Jauzi, Cetakan I, Tahun 1425 H – 2005 M.
4. Dirasatun fil Ahwa wal-Firaqi wal- Bida’ wa Mauqifu as-Salafi minha,
Prof. Dr. Nashir bin ‘Abdil-Karim al-’Aql, Penerbit Kunuz Isybiliya,
Cetakan I, Tahun 1425 H – 200 4 M.
5. Majallah Ummati, Edisi 21 Rabiuts-Tsâni 1427 H – Mei 2006 M.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428H/2008.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnotes
[1]. Bay?n bid-Dal?l li M? f? Nash?hatir R?fi’i wa Muqaddimati al-B?thi minal-Kadzibil-W?dhihi wat- Tadhl?l. Himpunan makalah dalam kitab al-Bay?n li Ba’dhil-Akhth?` al-Kutt?b, Syaikh Dr. Shalih al- Fauz?n, hlm. 109.
[2]. Ar-Raddu ‘alar-Rif?’i wal-B?thi f? Kadzibihima ‘ala Ahlis-Sunnati wa Da’watuhuma ilal-Bida’i wadh- Dhal?l. Himpunan makalah dari Kutub wa Rasail ‘Abdul-Muhsin al-’Abb?d, Syaikh ‘Abdul-Muhsin, hlm. 511.
[3]. Ar-Raddu ‘alar-Rif?’i wal-B?thi f? Kadzibihima ‘ala Ahlis-Sunnati wa Da’watuhuma ilal-Bida’i wadh- Dhal?l, 7/509.
[4]. Diriwayatkan oleh ‘Abdur-Rzz?q dalam Mushannaf, 2/118-119. Abu Bakr bin Abi Syaibah dalam Mushannaf, 2/376-377 dengan sanad shah?h.
[5]. Al-Bida’u wan-Nahyu ‘Anha, 42. Al-I’tsih?m, 1/346. Dinukil dari Dir?satun fil Ahw? wal-Firaqi wal- Bida’ wa Mauqifu as-Salafi minha, hlm. 222
[6]. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang dia : “Aku melihat ‘Amr bin Luhai bin Qam’ah bin Khindif moyang Bani Ka’ab menyeret usus-ususnya di neraka (HR. al Bukhari Muslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar