Selasa, 08 Juni 2010

Perempuan bekerja menurut Islam

Seorang Ibu bertanya kepada Ustad, apakah boleh iya untuk bekerja di luar rumah. Karena sebelum menikah dia sudah bekerja juga, dan kemudian hari setelah suami mempelajari agama, suaminya melarang untuk tidak bekerja.

Ustad pun memberikan masukan bahwa, dalam Islam tidak ada larangan bagi laki-laki atau perempuan untuk bekerja, baik di dalam ataupun di luar rumah.

Dalam surat al-Nahl, ayat 97 disebutkan secara tegas bahwa untuk meciptakan kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) dipersyaratkan peran aktif setiap orang beriman, lelaki dan perempuan (secara eksplisit disebutkan lelaki dan perempuan), tentu dengan melakukan aktifitas-aktifitas yang positif (amalan shalihan).

Di dalam surat al-Qashash,ayat-23-28, juga dikisahkan mengenai dua puteri Nabi Syu'aib as yang bekerja menggembala kambing di padang rumput, yang kemudian bertemu dengan Nabi Musa as. Surat al-Naml ayat 20-44, juga mengapresiasi kepemimpinan (karir politik) seorang perempuan yang bernama Balqis. Disamping ayat-ayat lain yang mengisyaratkan bahwa perempuan itu boleh bekerja menyusukan anak dan memintal benang.

Dalam praktek kehidupan zaman Nabi Saw, banyak riwayat menyebutkan, beberapa sahabat perempuan bekerja di dalam dan di luar rumah, baik untuk kepentingan sosial, maupun untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebutlah misalnya, Asma bint Abu Bakr, isteri sahabat Zubair bin Awwam, bekerja bercocok tanam, yang terkadang melakukan perjalanan cukup jauh. Di dalam kitab hadits Shahih Muslim, disebutkan bahwa ketika Bibi Jabir bin Abdullah keluar rumah untuk bekerja memetik kurma, dia dihardik oleh seseorang untuk tidak keluar rumah. Kemudian dia melapor kepada Nabi Saw, yang dengan tegas mengatakan kepadanya: "Petiklah kurma itu, selama untuk kebaikan dan kemaslahatan".

Di dalam literatur fikih (jurisprudensi Islam) juga secara umum tidak ditemukan larangan perempuan bekerja, selama ada jaminan keamanan dan keselamatan, karena bekerja adalah hak setiap orang. Variasi pandangan ulama hanya muncul pada kasus seorang isteri yang bekerja tanpa restu dari suaminya. Kemudian pertanyaan yang muncul adalah: apakah seorang isteri yang bekerja tanpa restu suami dianggap melanggar peraturan agama?

Kalau lebih jauh menelusuri lembaran-lembaran literatur fikih, dalam pandangan banyak ulama fikih, suami juga tidak berhak sama sekali untuk melarang isteri bekerja mencari nafkah, apabila nyata-nyata dia tidak bisa bekerja mencari nafkah, baik karena sakit, miskin atau karena yang lain (lihat fatwa Ibn Hajar, juz IV, h. 205 dan al-Mughni li Ibn Qudamah, juz VII, h. 573).

Lebih tegas lagi dalam fikih Hambali, seorang lelaki yang pada awalnya sudah mengetahui dan menerima calon isterinya sebagai pekerja (baca : Perempuan Karir) yang setelah perkawinan juga akan terus bekerja, suami tidak boleh kemudian melarang isterinya bekerja atas alasan apapun (lihat : al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, juz VII, h. 795).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar